Minggu, 13 Oktober 2024

Hadiah Kecil Untuk Diri Sendiri

Hari itu aku tak tahu tanggalnya persis. Namun aku ingat bahwa itu adalah hari yang ternyata menjadi penentu penting dalam hidupku di masa kini. Aku ingat saat itu aku tengah melakukan perjalanan panjang terjauhku selama aku hidup. Yogyakarta. Sebuah kota yang aku tuju karena aku akan mengikuti mukhoyyam Al Quran Nasional Akhwat. Ya, karena Al Quranlah aku bisa berada di sana. Dengan bekal seadanya baik secara fisik, materi, bahkan hafalan. Namun semua bisa terjadi karena Allah yang mengizinkan aku kesana. 

Disanalah aku terdampar. Di antara para hafizhoh penghafal Al Quran yang gerak langkahnya membuat hati iri. Senyumannya sangat menenangkan. Keramahannya sangat membuat nyaman. Lantunan bacaaan mereka sungguh membuat siapapun yang mendengarkan tak inginkehilangan suara-suara surgawi itu. 

Tapi tulisan kali ini bukanlah tentang Mukhayyam, lain kali aku akan ceritakan itu lebih dalam. Ada satu kejadian kecil saat itu yang ternyata jadi suratan takdir bagiku di masa kini. Saat itu adalah pertama kali aku menyimak langsung taujih dari Gurunda Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf. 

Malam hari setelah serangkaian jadwal yang pada kami menyimak untaian Al Quran teriring dari lisan beliau. Semua penting, sehingga pena sungguh tak bisa berhenti untuk mencatat bulir-bulir ilmu yang terus terhasilkan. Namun apa daya, kekuatan tangan, kejelian telinga, serta ketajaman otak saat itu masih kurang mumpuni unutk bisa mencatat keseluruhan tausiyah. Belum lagi gaya penyampaian beliau yang sarat akan ayat Al Quran, seakan Al Quran sudah mengalir dalam darahnya beliau. Terkadang beliau menyebutkan ayat itu di surat apa, namun lebih sering hanya mengutip saja tanpa menyebutkan lebih detail tentang suratnya.

Bagi peserta yang sudah hafidzoh keseluruhan Al Quran mungkin mudah memindai ayat itu adala di surat apa. Tapi bagiku, semuanya amatlah serba ngeblank. Mau membuka mushaf, tidak akan keburu, mau bertanya pada peserta lainpun mereka semua sedang khidmat menyimak. Oh, aku yang tipe belajarnya harus mencatat akhirnya hanya termangu dan mencatat poin poin penting dengan sangat singkat saja. Sungguh di luar kebiasaanku yang mengharuskan mencata selengkap dan sedetail mungkin. 

Saat itu, aku memang tidak terpikirkan sama sekali untuk mencatat di ponsel. Selain karena sungkan, juga karena panitia tidak mengizinkan peserta memakai ponsel. Semua ponsel tak boleh terlihat ada di atas meja saat tausiyah. Harus dinonaktifkan atau disenyapkan dan ditaruh dalam tas. Jadi begitulah, momen tausiyah pertama terlewatkan karena kendala yang aku alami. 

Singkat cerita, aku pun berusaha lebih ekstra unuk mengikuti tausiyah kedua. Aku bertekad ingin lebih khusyuk lam menyimak materi. Maka aku memilih makan dengan agak cepat, lalu langsung bersiap menuju aula untuk mengincar bangku terdepan persis di hadapan meja Ustadz saat akan tausiyah. Aku berharap, dengan begitu ilmu yang kudapat bisa maksimal dan catatanku bisa lebih lengkap dari sebelumnya. 

Sesampainya di aula, ternyata bangku yang aku incar sudah ditempati oleh seorang Ummahat. Beliau bersasal dari Jakarta. Kami berkenalan lalu aku minta izin untuk duduk di samping beliau. Aku akhawatir bangku di sebelahnya sudah ada yang menempati, walaupun masih kosong. Maklum, terkadang ada juga yang sering menitip bangku pada temnannya. Sehingga meskipun orangnya belum ada, tapi tas atau penanda lainnya sudah diletakkan untuk menandai bahwa itu bangku mereka.

Kajian pun akhirnya dimulai kembali. Aku sudah siap siap mencatat dengan pena dan buku catatan. Namun aku terperanjat sekali tatkala ummahat di sebelahku mengeluarkan perangkatnya untuk mencatat, yaitu tablet lengkap dengan mesin ketik mininya. Masya Alah, di tahun 2011, 13 tahun lalu, itu adalah benda yang canggih yang baru kali itu mungkin aku lihat. Biasanya yang aku lihat hanya laptop saja atau yang sejenisnya. Sehingga aku berdecak amat kagum ketika melihat alat tempurnya untuk mencatat yang sangat luar biasa. Sungguh sangat mencerminkan niat kuatnya untuk belajar. Masya Allah. 

Selama kajian, kini pikiranku terbelah. Pertama karena terpukau dengan kedalaman ilmu yang Gurunda sampaikan. Kedua, terpukau melihat kelihaian jari jemari ummahat disebelahku dalam merekam kata demi kata yang Gurunda sampaikan. Ah, aku iri sekali saat itu. Mukhayyam ini bukan saja melesatkan cita-citaku untuk menjadi ahlul Quran sebagaimana para guru dan peserta lainnya disini. Tapi juga melecut diri ini agar suatu saat bisa punya perangkat seperti itu juga supaya memudahkan dalam mencatat berbagai ilmu penting. Terbukti, dengan alat catat yang canggih, catatan yang luar biasa pun mampu direkam dengan baik dalam tulisan ummahat tersebut. Aku sangat terbantu dengan catatannya. Sungguh rapi dan lengkap. Saat membacanya seolah kita kembali bisa menyimak Gurunda di hadapan kita. Ya Allah berikanlah pahala yang mengalir bagi beliau, aamiin.

Peristiwa itu amat berkesan bagiku. Dan ternyata kini menjadi sebab bagiku untuk bisa berkarya lewat ilmu. Terhitung sejak covid, kesukaanku mencatat kajian menjadi salah satu cara untuk menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Aku akhirnya sering diminta untuk menjadi notulen jika sedang ada kajian. Akuingat, di dunia televisi orang yang sering dipanggil untuk jadi notulen adalah Kang Maman. Bahkan beliau membuat buku yang judulnya No Tulen. Isinya adalah catatan perjalanan hidup beliau yang terjadi sehari-hari, namun bisa diambil pelajarannya oleh yang membacanya. Aku pun bercita-cita demikian. Membuat buku yang isinya refleksi perjalanan hidup yang dialami setiap hari. semoga tercapai.

Kini aku merasa Allah sedang mendukung mimpiku tersebut. Ia memberi aku perangkat tab lewat seseorang yang amat berbaik hati dan dermawan. Untuk mensyukurinya, aku oun memberi hadiah  kecil untuk diriku sendiri. Aku melengkapi perangkat menulisku dengan membeli keyboard mini portable. Ternyata saat dipakai amat menyenangkan. Bunyi setiap tombolnya amat menjadi healing untukku. Aku merasa bahwa aku sudah menjadi penulis betulan. Padahal masih penulis untuk blog pribadi saja. Hehe. Tap memang pengalaman menulis via sentuhan layar dan via mengetik di tuts keyboard memang amat berbeda. Sungguh bahagia, ketika jari-jari ini menari di atasnya untuk merekam kata demi kata dari para Gurunda yang telah memberikan ilmu. Semoga ini jadi salah satu  jalan agar prosesku dalam menuntut ilmu semakin berkualitas. 

Dan ini juga jadi tulisan blog pertamaku menggunakan keyboard ini. Sungguh bahagia. Semoga aku bisa lebih banyak menulis disini. Semoga ide ide akan semakin banyak mengalir deras dengan hadiah kecil ini. Semoga Allah mengizinkanku membuat buku solo agar bisa mendapatkan pahala jariyah darinya. Amin.

Terimakasih wahai diri, sudah memberikan hadiah kecil yang amat berharga hari ini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar